Jejak Jejak Perindu Surga

prakerinmisntv

 Jaminan Iman

Iman memang tidak pernah menjamin kita untuk selalu berlimpah dan bahagia. Iman hanya menjanjikan kita untuk mendekap elusan lembut kasih sayang Allah dalam setiap dera yang menimpa. Semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang pula angin menghantam. Semakin tinggi keimanan kita, semakin berat pula ujian yang Allah berikan.

Maka tak ada satu pun juga manusia yang dibiarkan menuturkan, "Aku telah beriman", sedang ia belum diuji. Allah pun menenangkan dalam firman-Nya, "Kalau kalian hai orang-orang beriman merasakan sakit, maka yang kafir pun juga merasakan sakit serupa dengan sakit yang kalian derita. Tetapi kalian mengharapkan dari Allah apa-apa yang tidak bisa direngkuh oleh yang ingkar."

Maka itulah yang menjadi pegangan orang-orang saleh sejak dahulu. Kesetiaan pada iman untuk meraih janji Allah, menguatkan langkah yang kian tertatih juga terseok. Sebab, Al-Qur'an telah mendarah daging dalam tubuhnya. Al-Qur'an menjadi perhiasan hidupnya. Aktivitasnya bersanding dengan Al-Qur'an.

Akhir yang Indah 

Dunia ini memang tidak pernah menjanjikan akan selalu manis sesuai mimpi dan khayalan kita. Bersamanya diciptakan beribu duka dan nelangsa. Sebab, pada setiap kesulitan ada kemudahan, maka yang mudah pasti disiapkan setelah yang berat. Sungguh, betapa indah hidup yang terhubung ke langit. Ketika roh-roh yang tertawan, dipertemukan dengan Rabb yang paling tahu. Seperti ciduk-ciduk air di bebatuan, naik ke awan bertemu di langit biru. Bila telah menghimpun, kembali turun lagi bersama rindu.

Untuk setiap bahagia yang menyapa, syukur adalah teman terbaiknya. Meluapkan segala sukacita pada serangkai kalimat indah, lahir dari iman di dada, dan menyatu pada kebajikan. Sedang pada dera uji yang menghampiri, sabar adalah kawan bersama. membaikkan sangka pada segala takdir yang terhijab, serta menyerahkan segala usaha dan upaya. Allah-lah yang menentukan segalanya. Bila sudah seperti ini, bahagia selalu menjadi ujung cerita.

Cinta tanpa Syarat

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, sejatinya hati akan luluh menyungkur dan larut dalam cinta yang teramat, ketika kita tahu betapa agung Allah azza wa jalla mengatur segala urusan hidup ini. Bukankah ibadah itu dibangun di atas tiga fondasi; takut, harap, dan cinta.

Takut bila Allah memalingkan wajah-Nya dari memandang kita. Sebab bila demikian, apa lagi yang bisa kita harapkan dari dunia dan akhirat kelak? Takut atas azab Allah yang pedih juga menyakitkan. Menyayat jiwa menggores luka yang tak akan sembuh. Takut bila Allah mengharamkan magfirahnya atas diri. Menjauhkan berkah dan salam-Nya, juga menutup rapat pintu rahmat-Nya. Lalu, jika sudah seperti itu, dengan apa kaki kita bisa menapaki surga?

Berharap dengan seutuh-utuhnya pengharapan. Berharap Allah menerima setiap amal kebajikan, meski padanya cacat dan payah selalu hadir membersamai. Berharap Allah menggenapkan usia kita di atas jalan kemuliaan, hingga akhir cerita. Berharap Allah memberi taufik juga hidayah dalam setiap langkah kita. Berharap Allah memasukkan kita ke dalam surga, dan membebaskan diri dari panasnya bara di kerak neraka-Nya.

Cinta yang sesungguhnya ada di setiap jejak kesalehan. Ketika Allah menjadi landasan segala cinta. Kepada-Nya segala ibadah, hidup, juga mati ditujukan. Cinta yang seutuhnya adalah ketika Allah menjadi satu-satunya, tiada yang dua apalagi tiga. Cinta yang sebenarnya adalah ketika Allah menjadi tempat berlabuh segala rasa, dari-Nya dan kepada-Nya.

Maka ketiganya terhimpun pada titik taat. Tanpa menawar. Tanpa syarat. Mustahil? Tidak, bila hati telah ikhlas dan kaffah menjalani syariat ini.

Hanya Karena Allah

Mendekap cinta Allah rabbul 'alamin memang asa semua insan. Siapa yang tak ingin? Siapa yang enggan? Ia adalah mimpi dari mimpi-mimpi tertinggi setiap hamba. Hanya saja, alpa dan lupa seringnya meringkihkan raga untuk mendurhakai-Nya. Tapak-tapak kaki kita justru menjauh dari harapan.

Maka meskipun ada ampunan bagi setiap yang melampaui batas, ada belaian lembut bagi yang melakukan dosa jika menyesal dan mengetuk pintu taubat, kegembiraan untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah ini jangan membuat kita lalai. Setiap jiwa harus menadaburi bahwa bersama iman ada ujian, bersama yakin ada musibah, dan bersama percaya ada cobaan. Oleh karena itu, kita harus mendidik hati agar selalu berada pada koridor keikhlasan.

Kita tak boleh berputus asa dari rahmat Allah. Berbahagialah dengan iman di dada, bergembiralah dengan amal saleh yang dilakukan. Lalu, di saat yang sama, khawatirlah. Apakah semua itu bernilai di sisi Allah, atau justru hangus terbakar oleh ria dan ujub.

Sekali lagi, kita harus menjaga hati agar senantiasa di titik tengah. Antara syukur kala berlimpah, sabar kala ujian mendera. Antara bergegas dengan kebaikan, bersimpuh sesal pada kemaksiatan. Berjuang keras untuk ikhlas. Menanyakan sudahkah diri ikhlas. Mengerahkan segala upaya agar memperbaik amal, memuhasabah, dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Untuk jiwa-jiwa yang ikhlas, berbahagialah. Andai jumlah amal untuk menebus nikmat dari-Nya belum cukup,semoga ikhlas menjadi jembatannya. Pemberatnya. Pengindahnya.

Ikhlas Setulus Jiwa

"Tidakkah aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Az-Zariyat:56)

Tiada satu pun tujuan dilahirkannya kita di dunia ini, kecuali hanya untuk menyembah Allah Subhanahu wa ta'ala, tunduk dan patuh kepada-Nya. Allah telah menjelaskan keagungan-Nya yang tak satu pun makhluk mampu menyerupai. Di saat yang sama, manusia sadar akan kefakiran dan kepayahan dirinya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Allah tidak butuh disekutukan dan tidak pantas diduakan dengan siapa pun.

Maka jin, manusia, dan siapa saja yang beramal karena mencari rida Allah, namun mengharapkan juga sesuatu dari selain-Nya, akan sia-sia. Ia seperti jasad tanpa roh, mati, membusuk, dan tidak bernilai apa-apa. Sebaliknya, tiap-tiap amal yang diperbuat jiwa semata-mata ditujukan untuk-Nya, ada janji manis sebagai balasan terindah dari Allah berupa surga, negeri yang dirindukan. Keikhlasan selalu saja berbuah surga. Tak ada yang tak bernilai di sisi Allah untuk semua hal yang dilakukan secara ikhlas setulus jiwa.

Sesungguh-sungguh Tobat

"Aku ingin bertobat, tapi dosaku sungguh teramat banyak. Dulu aku pernah membunuh seseorang dengan sengaja hanya karena harta warisan."

"Mungkin pintu tobat sudah tertutup untukku. Di masa lalu, aku pernah berzina dengan kekasihku, aku hamil dan akhirnya membunuh janin tak berdosa itu."

"Tiada lagi surga untukku. Tiada guna tobat hari ini. Aku yang telah berlumur dosa ini tak mungkin diampuni oleh-Nya. Hampir semua dosa besar pernah kulakukan."

Betapa sering kita mendengar kalimat-kalimat putus asa keluar dari bibir para pendosa. Tak lagi ada asa kepada Allah dan ampunan-Nya. Padahal, bagi tiap-tiap jiwa meski telah berbilang khilaf dan maksiat, bila bertobat dengan sungguh-sungguh, akan mendapatkan rahmat Allah yang begitu luas. 

Sebab Tilawah Merdu

Hati adalah wadah untuk menerima cahaya dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Kejelitaan takwa, manisnya iman, dan kekhusyukan ibadah, berkumpul pada hati. Bila ia baik, maka baik pula seluruh jasad dan amalannya. Bila ia busuk bernanah, buruk pula segala yang tampak di luarnya.

Demikian keadaan setiap jiwa yang mendurhakai Tuhannya. Sekali ia khilaf, maka noktah hitam tertoreh dalam hatinya. Semakin banyak kemaksiatan yang ia lakukan, semakin kelam pula hitam itu menutup. Namun terkadang, ada saja celah dari relung hatinya yang belum terhijab gelapnya maksiat. Apabila celah itu digunakan untuk merenungi kekuasaan Allah, bertobat pada-Nya, dan disentuh dengan hikmah demi hikmah, maka Allah akan membersihkan hatinya. Sebaliknya, bila nafsu terus menjadi imamnya, maka cahaya Allah tak akan bisa masuk.

Salah satu sentuhan terbaik agar hati kembali terang adalah tilawah Al-Qur'an. Mulai dari membacanya, mendulang ilmu dan maknanya, menghafalnya, dan juga mengamalkannya.

Melazimkan Zikir

Lisan adalah anugerah agung dari yang Mahaagung. Namun di sisi lain, ia menjadi bisa yang dapat mematikan pemiliknya. Anggota badan yang tak bertulang itu gesit bergerak, naik turun ke kanan dan ke kiri, melafalkan apa saja yang ada di kepala dengan begitu mudah. Bila dimanfaatkan dalam kebaikan, maka pemiliknya akan diganjar dengan yang lebih baik. Namun, bila digunakan di tempat yang salah, maka ia tinggal menunggu balasan. 

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, "Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat." (HR. Muslim)

Oleh sebab itu, lisan bisa menjadi sebab terjungkalnya seorang hamba ke dalam kerak neraka. Namun, juga bisa menjadi kendaraan menuju nirwana, ketika lisannya senantiasa terbasahi dengan lantunan zikir dan kalimat-kalimat baik lainnya.

Derma Sedekah

"Lalu dia menyesali, 'Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku akan bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.'" (QS. Al-Munafiqun: 10)

Ayat ini mengisahkan penyesalan seorang hamba di akhirat kelak. Andai saja kematian dapat ditunda, maka ia akan bersedekah sebanyak mungkin. Mengapa mereka tidak berkata, "Maka aku akan puasa", "Aku akan umrah", atau mungkin ibadah-ibadah lainnya?

Ulama menjelaskan, tidaklah para mayat itu menyebutkan"sedekah", kecuali karena mereka telah menyaksikan besarnya pahala dan ganjaran yang disiapkan di sisi Allah untuk para dermawan. Bukankah yang paling menyelamatkan kita di penatnya hari pengadilan kelak adalah keimanan, sedang bukti dari iman adalah sedekah?

Oleh sebab itu, sedekah adalah amalan yang memiliki kedudukan tinggi dalam syariat. Ia tidak hanya memadamkan api siksaan di dalam kubur, namun juga bisa menjadi amalan yang tiada putus-putusnya hingga hari kiamat. Bahkan sedekah dapat mengantarkan seorang pendosa pada magfirah Allah dan surga-Nya.

Puasa

Sahl bin Sa'ad radhiallahu 'anhu meriwayatkan dari Rasul terbaik shalallahu 'alaihi wa sallam, "Di surga nanti ada sebuah pintu yang disebut rayyan. Orang-orang yang senantiasa berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada hari kiamat. Tak seorang pun selain mereka yang diizinkan memasukinya. Kelak akan ada panggilan, 'Hai orang-orang yang berpuasa!' Maka berdirilah mereka semua. Tidak ada yang masuk melalui pintu itu selain mereka. Setelah mereka masuk, pintunya pun ditutup. Tak seorang pun lagi yang masuk melaluinya." (HR. Bukhari dan Muslim)


Dikutip dari karya Muhtadin Akbar Dalam buku Jejak-Jejak Perindu Surga Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia-Jakarta Ditulis kembali oleh Rofiqoh Maula Alghina