Sejarah Batik By Farid Akbar Maulana

prakerinmisntv

 SEJARAH BATIK

        Di Indonesia, batik memiliki sejarah dan riwayat yang panjang. Di setiap wilayah di Nusantara, batik memiliki perkembangan dan kisah yang menarik. Keberadaan Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan yang besar, makmur, dan mengalami masa kejayaan selama beberapa abad telah membuat tradisi dan kebudayaannya mengakar kuat di wilayah Nusantara, termasuk di antaranya seni batik.

A.Perkembangan Umum
         Sampai saat ini, sebenarnya kapan batik mulai tercipta masihlah menjadi tanda tanya. Namun, motif-motif batik di Indonesia dapat ditemukan pada beberapa artefak budaya, seperti pada candi-candi.
         Motif dasar lereng dapat ditemukan pada patung emas Syiwa (dibuat abad IX) di Gemuruh, Wonosobo, Dasar motif ceplok ditemukan pada pakaian patung Ganesha di Candi Banon dekat Candi Borobudur (dibuat abad IX). Batik juga ditemukan pada titik-titik dalam motif pada patung Padmipani di Jawa Tengah, (menurut perkiraan patung tersebut dibuat awal abad Vill-X). Motif firis ditemukan
pada patung Manjusti, Ngemplak, Semongan, Semarang (dibuat abad X). Selanjutnya, batik semakin eksis pada masa Kerajaan Majapahit dengan wilayah dan kekuasaan yang sangat luas. Namun data yang lebih pasti tentang sejarah dan perkembangan batik di indonesia mulai terekam jelas sejak masa Kerajaan Mataram Islam, yang bersumber dari keraton, seperti motif parang rusak, semen rama, dan lain-lain.
       Pada awalnya, batik digunakan sebagai hiasan pada daun lontar yang berisi naskah atau tulisan agar tampak lebih menarik. Seiring perkembangan interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa asing, maka mulai dikenal media batik pada kain Sejak itu, batik mulai digunakan sebagai corak kain yang berkembang sebagai busana tradisional, khusus digunakan di kalangan ningrat keraton.

      Dalam beberapa literatur, sejarah pembatikan di Indonesia sering dikaitkan
dengan Kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Pulau Jawa. Hal ini
dibuktikan dengan penemuan arca dalam Candi Ngrimbi dekat Jombang yang
menggambarkan sosok Raden Wijaya, raja pertama Majapahit (memerintah 1294
1309), memakai kain batik bermotif kawung,
       Oleh sebab itu, kesenian batik diyakini telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit secara turun-temurun, Wilayah Kerajaan Majapahit yang sangat luas menyebabkan batik juga dikenal luas di Nusantara. Berikut ini adalah beberapa kota di Indonesia yang memiliki riwayat dan sejarah batik yang cukup panjang dan memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan batik di Indonesia.

1) Mojokerto dan Tulungagung
        Dengan pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit berada di Jawa Timur (Trowulan Mojokerto), tidak mengherankan kalau hampir setiap kota di Jawa Timur mengenal batik. Daerah Jawa Timur, terutama Mojokerto, memiliki gaya pembatikan yang khas karena sangat dekat dengan pusat kekuasaan Majapahit. Perkembangan gaya batik ini hingga sekarang dapat ditelusuri di daerah Mojokerto.



         Tulungagung memiliki riwayat sejarah khusus tentang keberadaan batik dan Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu, daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dikenal dengan nama Bonorowo. Pada saat Kerajaan Majapahit sedang pada masa keemasan di bawah kendali Mahapatih Gadjah Mada, Bonorowo dikuasai oleh Adipati Kalang yang tidak bergabung di bawah Majapahit.
         Keinginan Gadjah Mada dengan Sumpah Palapa-nya adalah mempersatukan Nusantara di bawah Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, Gadjah Mada pun bertekad untuk menaklukkan Bonorowo atau Tulungagung. Sayangnya, Adipati Kalang tidak mau tunduk kepada Majapahit begitu saja. Akhirnya, Majapahit memutuskan untuk menyerang Bonorowo.

2) Ponorogo
       Riwayat dan sejarah pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya yang cukup berpengaruh adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini.

       Pada waktu itu, ada seorang keturunan dari Kerajaan Majapahit yang bernama Raden Katong, adik dari Raden Patah. Raden Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dengan mendirikan pesantren. Dia terkenal sebagai Kyai Hasan Basri dan lebih dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang, dan kesusasteraan. Seorang murid kesusasteraan yang terkenal dari Tegalsari adalah Raden Ronggowarsito.


       Kyai Hasan Basri kemudian menjadi menantu raja Keraton Solo. Lalu putri Keraton Solo diboyong ke Tegalsari, diikuti oleh para pengiringnya. Dari sanalah batik ponorogo menjadi sangat dipengaruhi oleh batik solo. Di samping itu, banyak pula keluarga Keraton Solo belajar di Pesantren Tegalsari dan semakin menguatkan pengaruh batik solo terhadap batik ponorogo.
       Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari Keraton Solo menuju ke Ponorogo. Saat pemuda-pemudi yang dididik di Pesantren Tegalsari lulus, mereka membaur di tengah masyarakat dan menyumbangkan ilmunya di bidang pemerintahan maupun agama. Mereka juga mengembangkan tradisi membatik sebagai salah satu mata pencaharian. Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang adalah daerah Kauman, yaitu Kepatihan Wetan hingga meluas ke Desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono, dan Ngunut.

3) Yogya dan Solo
       Keberadaan batik di setiap kota tidak dapat dilepaskan dari sejarah kota tersebut. Demikian juga dengan Yogyakarta yang dianggap sebagai cikal bakal batik dengan adanya batik keraton. Batik di kota ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya Kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati.
       Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Pajang ke Mataram, Panembahan Senopati sering mengadakan tapa brata (bertapa, bersemedi) di sepanjang pesisir selatan, menyusuri Pantai Parangkusuma ke Dlepih Parang Gupita, menyisiri tebing Pegunungan Seribu yang tampak seperti pereng atau tebing berbaris. Tempat pengembaraan itu akhirnya melahirkan ilham pembuatan motif batik lereng atau parang yang merupakan ciri khas batik mataram yang berbeda dengan batik-batik sebelumnya.
      Batik di keraton memang bukan sekedar lukisan tanpa makna, tetapi sering dikaitkan dengan laku brata dan pengalaman spiritual penciptanya. Hak eksklusif penggunaan batik parang tentu saja menjadi milik raja pembuatnya dan keturunannya. Kalangan di luar keraton dilarang menggunakan batik motif parang tersebut. Larangan tersebut pernah dicanangkan oleh Sri Sultan HB I pada tahun 1785, yang antara lain termasuk kain batik motif parang rusak barang dan beberapa motif parang lainnya.


      Terakhir, Sri Sultan HB VIII menetapkan revisi larangan tersebut dengan membuat Pranatan Dalem bab Namanipun Pengangge ing Nagari Ngayogyakor Hadiningrat, yang dimuat dalam Rijksblad van Dyogyakarta No 19 Tahun 1927 Pranatan ini sampai sekarang tidak diperbarui dan menjadi semacam aturan tidak tertulis yang menjadi tradisi di lingkungan keraton.
      Di masa lalu, batik bukan hanya digunakan untuk melatih keterampilan lukis (menggambar) dan sungging (mewarnai dengan cat), namun merupakan seni yang sarat dengan pendidikan etika dan estetika bagi perempuan. Batik juga sering digunakan untuk menandai adanya peristiwa-peristiwa penting di dalam kehidupan manusia Jawa. Misalnya saja batik dengan corak truntum cocok untuk upacara akad nikah. Sedangkan corak midodareni, grompol, semen rama, noge sari cocok untuk pernikahan.